Pengendalian Hayati & Pengendalian Hama Terpadu


PENGENDALIAN HAYATI & PENGENDALIAN HAMA TERPADU
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era sekarang banyak petani dalam melakukan pengendalian hama menggunakan pestisida dari bahan kimia yang bertujuan agar hama bisa secara cepat musnah,namun hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan yang tanpa disadari oleh petani,yaitu mengakibatkan residu yang dapat membahayakan lingkungan dan juga manusia itu sendiri, Catatan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000 orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang. Dampak negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia serta ternak (Kusnaedi, 1999).
Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
  Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara “terkait kepadatan populasi” sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya.

Pemahaman Tentang PHT Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah lapangan. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar penetapan pengendalian hama (Sulistiani, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1.    Bagaiman konsep pengendalian hayati?
2.    Bagaiman konsep pengendalian hama terpadu?
3.    Bagaimana implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat?
1.3 Tujuan
1.    Mengetahui konsep pengendalian hayati
2.    Mengetahui konsep pengendalian hama terpadu
3.    Mengetahui implementasi pengendalian hama terpadu dilingkungan masyarakat
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Pengendalian Hayati
2.1.1.   Pengertian Pengendalian Hayati
Secara umum pengertian pengendalian hama secara biologi/hayati adalah penggunaan makhluk hidup untuk membatasi populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Makhluk hidup dalam kelompok ini diistilahkan juga sebagai organisme yang berguna yang dikenal juga sebagai musuh alami, seperti predator, parasitoid, patogen.
Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Pengendalian hayati merupakan komponen yang penting dari program pengendalian hama terpadu (PHT)
2.1.2.   Konsep Pengendalian Hayati
Mengenai konsep dasar sendiri, ada tiga pendekatan dalam pengendalian hayati adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik, augmentasi, dan konservasi.
1.  Pendekatan importasi
Melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan musuh alami yang efektif di tempat asalnya.
Introduksi (mendatangkan/mengimpor) musuh-musuh alami dari luar negeri/daerah lain untuk dilepaskan didaerah baru. Introduksi dapat ditempuh apabila hama yang menyerang suatu tanaman pada umumnya menimbulkan eksplosi dan diketahui hama tersebut bukan merupakan hama asli daerah tersebut. Contohnya : import predator Curinus coerulens dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro.
2.  Praktek augmentasi
Didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama, jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi (membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya.
Inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah relatif sedikit dengan harapan pada generasi selanjutnya akan menekan populasi hama dan musuh alami tersebut relatif menetap lebih lama. Sedangkan inundasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah besar (hasil pembiakan missal di laboratorium) dengan tujuan secara cepat menekan populasi hama, sehingga populasi hama dapat analog dengan aplikasi insektisida biologis. Karena inundasi lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim tanam sering kali perlu dilakukan beberapa kali pelepasan. Selain itu, pengendalian secara augmentasi (khususnya inundasi) dapat dilakukan apabila terjadi masalah hama dengan kriteria sebagai berikut :
v Terdapat musuh alami yang berpotensi menekan hama tetapi tidak efektif, karena kondisi lingkungan tidak mendukung.
v Hama tidak mudah dikendalikan atau terlalu mahal apabila dikendalikan dengan metode lain.
v Metode lain tidak dikehendaki karena beberapa alasan seperti residu pestisida, resistensi hama atau akan timbulnya hama sekunder.
v Hanya satu atau dua jenis hama yang selalu menimbulkan kerugian dan memerlukan pengendalian.
3.  Pengendalian hayati konservasi
Pada dasarnya adalah melindungi, memelihara, dan meningkatkan efektivitas populasi musuh alami yang sudah ada di suatu habitat. Konservasi merupakan pendekatan paling penting jika kita ingin memelihara populasi musuh alami, baik asli maupun eksotik, di dalam ekosistem pertanian.
Agen Hayati
Merupakan organisme yang bertindak sebagai musuh alami dalam melakukan pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman atau organisme yang bersifat antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman. Dan dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sakit atau mati. Agen Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen dan agens antagonis.
Ø Predator adalah binatang yang memburu dan memakan atau menghisap cairan tubuh mangsanya. Contoh : Lycosa pseudoannulata (laba-laba).
Ø Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga lainnya (serangga inang) hanya selama masa pra dewasa (masa larva). Imago hidup bebas bukan sebagai parasit dan hidup dari memakan nektar, embun madu, air dan lain-lain. Contoh : Diadegma semiclausum (parasitoid terhadap ulat daun kubis).
Ø Patogen adalah mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga disebut mikroorganisme entomopatogen, yang terdiri dari cendawan, bakteri dan virus.
Ø Agens Antagonis adalah mikroorganisme yang mengintervensi/menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada tumbuhan.
2.1.3.   Manfaat Pengendalian Hayati
Manfaat dari pengendalian hayati memiliki dua sisi, satu sisi ada yang kelebihannya dan di sisi lain ada kelemahannya.
Keuntungan pengendalian hayati sendiri yaitu (Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994) :
a)  Selektifitas yang tinggi, agens hayati hanya membunuh OPT dan tidak membunuh organisme non OPT ataupun musuh alami. Dengan demikian tidak akan terjadi resurgensi atau ledakan OPT sekunder.
b)  Faktor pengendali (agens) yang digunakan tersedia dilapang.
c)  Agens hayati (parasitoid dan predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya.
d)  Agens hayati (parasitoid, predator, dan pathogen) dapat berkembangbiak dan menyebar.
e)  Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga inang/mangsa ataupun kalau terjadi, sangat lambat.
f)   Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut.
g)  Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida.
h)  Ramah lingkungan (tidak merusak ekosistem pada suatu lingkungan pertanian)
i)    Efisiensi tenaga dan biaya
Kelemahan pengendalian hayati (Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994) :
a)  Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat.
b)  Hasilnya tidak dapat diramalkan.
c)  Sukar untuk pengembangan dan penggunaannya.
d)  Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan untuk mengetahui tingkat keberhasilannya. Pengembangan pengendalian hayati perlu dilakukan pengawalan dengan :
§  Teknologi aplikasi yang tepat agar keberhasilannya dapat terlihat dengan nyata.
§  Modifikasi lingkungan untuk meningkatkan efektifitas agens pengendali.
Dengan melihat kelebihan dan kelemahan tersebut, maka pengendalian hayati mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam menanggulangi OPT, yang sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Dengan diterapkannya pengendalian hayati diharapkan diperoleh produk pertanian yang aman bagi konsumen dalam kaitannya dengan residu pestisida, terutama bagi produk yang berorientasi ekspor, disamping aman bagi lingkungan. Dalam menerapkan pengendalian hayati harus memperhatikan factor-faktor yang dapat mempengaruhinya, diantaranya adalah
1.  Lingkungan
2.  Kemampuan musuh alami bertahan hidup pada suatu lingkungan.
3.  Tingkat perkembangan musuh alami
2.1.4.   Study Kasus Pengendalian Hayati
Lalat pengorok daun kentang (Liriomyza huidobrensis)
Gejala serangan : Daun yang terserang memperlihatkan gejala bintik-bintik putih akibat tusukan ovipositor, dan berupa liang korokan larva yang berkelok-kelok. Serangan berat dapat mengakibatkan hampir seluruh helaian daun penuh dengan korokan, sehingga daun menjadi kering dan berwarna coklat seperti terbakar atau mirip gejala busuk daun.
Pengendalian :
1.  Kultur teknis
·      Cara ini dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sehat yang meliputi :
·      Penggunaan varietas yang tahan
·      Sanitasi yaitu dengan membersihkan gulma
·      Pemupukan berimbang
·      Menimbun bagian-bagian tanaman yang terserang
2.  Mekanis
·      Pemangkasan daun-daun yang terserang dan daun bagian bawah yang telah tua.
·      Larva dikumpulkan dari sekitar tanaman yang rusak kemudian dimusnahkan.
·      Pemasangan yellow sticky trap dengan membentangkan kain kuning (lebar 0,9 m x panjang sesuai kebutuhan atau 7 m, untuk setiap lima bedengan memanjang) berperekat di atas tajuk tanaman kentang (Baso et al. 2000). Goyangkan pada tanaman membuat lalat dewasa beterbangan dan terperangkap pada kain kuning.
·      Pengendalian hayati dengan parasitoid hanya mungkin berhasil bila disertai upaya pengurangan penggunaan insektisida.
3.  Biologis (Pengendalian Hayati)
Dengan memanfaatkan musuh alami. Musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama penggorok daun pada kentanng antara lain:
a)  Hemiptarsenus varicorni
H. varicornis (Hymenoptera : Eulophidae) merupakan parasitoid penting pada hama Liriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat di temukan di seluruh areal pertanaman kentang yang terserang L. huidobrensis. Tingkat parasitasi H. varicornis terhadap L. huidobrensis pada tanaman kentang adalah 37,33%. Nisbah kelamin antara jantan dan betina adalah 1,5 : 1. Siklus hidup H. varicornis berkisar antara 12-16 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 1-2 hari, 5-6 hari, dan 6-8 hari. Masa hidup betina berkisar antara 88-22 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 24-42 butir.
H. varicornis merupakan parasitoid yang memiliki potensi besar sebagai pengendali hayati untuk mengendalikan hama pengorok daun Liriomyza di Indonesia, karena disamping pertimbangan faktor fekunditas dan lama hidup imago betinanya, juga merupakan parasitoid lokal yang sudah beradaptasi di wilayah Indonesia. Pemanfaatan parasitoid ini dilakukan dengan cara konservasi melalui pengaturan pola tanam dan aplikasi teknologi pertanian ramah lingkungan.
Dengan memperhatikan data tersebut di atas, maka dapat dilakukan upaya konservasi H. varicornis di lapangan untuk mengendalikan pengorok daun Liriomyza spp. melalui manipulasi lingkungan (tritropic levels) dengan memadukan antara pengaturan pola tanam dan penerapan teknologi pertanian ramah lingkungan, yaitu:
1)  Pengaturan pola tanam, dengan pilihan sebagai berikut:
·      Menanam tanaman kacang merah (red bean) atau buncis (snap bean) sebagai tanaman perangkap Liromyza sekaligus tempat berkembang biaknya parasitoid H. varicornis pada pematang atau pinggiran kebun, yang sebaiknya ditanam lebih awal sebelum tanaman pokoknya.
·      Menanam tanaman pada awal musim tanaman yang jika terserang Liriomyza spp. tidak mengakibatkan kerugian secara ekonomis, karena menyerang daun yang sudah tua seperti brokoli atau kubis, kemudian pada musim tanam kedua menanam kentang atau bawang daun yang ditumpangsarikan dengan kacang merah atau buncis.
·      Melakukan sistem pola tanam tumpang sari antara kacang merah dengan kentang, buncis dengan bawang daun, buncis dengan kubis, dan lain-lain.
2)  Menerapkan teknologi pertanian ramah lingkungan (organik) sehingga populasi parasitoid di lapangan tidak terganggu. Adapun teknologi pertanian ramah lingkungan yang dapat dilakukan dalam budidaya tanaman sayuran dan tanaman hias antara lain: penggunaan pupuk organik baik yang sudah menjadi kompos ataupun dalam bentuk pupuk kandang, penggunaan pestisida botani dengan memanfaatkan ekstrak bagian dari tumbuhan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.
b)  Opius sp.
Opius sp. merupakan parasitoid penting hama L. huidobrensis. Telur berbentuk lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membengkak dibandingkan dengan ujung yang lain. Siklus hidupnya berkisar antara 13-59 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 2, 6, dan 6 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 49-187 butir. Instar yang paling cocok untuk perkembangan parasitoid Opius sp., adalah instar ke-3. Pada instar tersebut masa perkembangan parasitoid lebih singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak dengan proposi betina yang lebih tinggi. Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.: 698/kpts/tp.120/8/1998 Tentang Izin Pemasukan Beberapa Jenis Parasitoid Dari Hawaii Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Memberikan izin kepada Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut Pertanian Bogor untuk memasukkan 5 (lima) jenis parasitoid dari Hawaii untuk mengendalikan hama Liriomyza huidobrensis melalui Bandar Udara Soekarno – Hatta, Jakarta.
Jenis-jenis parasitoid dimaksud adalah sebagai berikut :
Ø Diglyphus-begini, ektoparasitoid larva;
Ø Diglyphus-intermedius, ektoparasitoid larva;
Ø Chrysocaris-oscinidus, endoparasitoid larva-pupa;
Ø Ganaspidium-utilis, endoparasitoid larva-pupa; dan
Ø Halticoptera-circulus, endoparasitoid larva-pupa.
2.2.       Pengendalian Hama Terpadu
2.2.1.   Konsep Pengendalian Hama Terpadu
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Perlindungan tanaman merupakan bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan kwantitas produksi yang baik. Sejak Pelita III pemerintah telah menetapkan sistem PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum PHT tertera pada GBHN II dan GBHN IV serta Inpres 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan melalui UU No.12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas (Kusnaedi, 1999).
Secara ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi yang besar untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar rupiah pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk membatasi pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional harus dirubah menjadi pengendalian berdasarkan konsep dan prinsip PHT. Kemudian secara bertahap subsidi pestisida di cabut, dan baru tahun 1989 subsidi tersebut sepenuhnya dicabut, metoda yang cukup baik dan mudah dilaksanakan melalui pola Sekolah Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola pendidikan orang dewasa yaitu belajar dari pengalaman sendiri langsung di lapang (Kusnaedi, 1999).
Bahwa pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan baru untuk melindungi tanaman dalam kontek sebuah sistem produksi tanaman. Definisi  PHT (Brader, 1979) sistem pengendalian hama yang dapat dibenarkan secara ekonomi dan berkelanjutan yang meliputi berbagai pengendalian yang kompatibel dengan tujuan memaksimalkan produktivitas tetapi dengan dampak negatif terhadap lingkungan sekecil-kecilnya Disbun Propinsi NTB  (2002) menginformasikan, bahwa petani dianjurkan untuk tidak melakukan pengendalian apabila intensitas serangan OPT masih dibawah 5 persen, menggunakan pestisida nabati apabila intensitas serangan antara  5-20 persen, dan diperbolehkan menggunakan pestisida kimia apabila serangan sudah diatas 20 persen. Sebagian besar petani berpendapat bahwa akan memutuskan penyemprotan pestisida kimia apabila serangan HPT sudah di atas ambang ekonomi (menurut persi petani), yaitu petani alumni (100%) dan non–alumni (99,3%), sedangkan yang lainnya (6,7%) akan menyemprot begitu melihat ada  gejala serangan. Setelah SL-PHT, petani hanya menggunakan pestisida nabati (pesnab), tidak ditemukan petani yang menggunakan pestisida kimia karena  disamping keadaan intensitas serangan HPT termasuk ringan juga harga pestisida yang mahal turut menghambat petani untuk menggunakan (Kartasapoetra, 1991).
Ciri dan sifat dasar PHT yang membedakan dengan pengendalian konvensional adalah (Kartasapoetra, 1991):
a. Tujuan utama PHT bukanlah pemusnahan, tetapi dikendalikan agar populasi hama tetap berada di bawah satu tingkatan aras yang dapat mengakibatkan kerusakan atau kerugian ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi hama tetapi pembatasan, sebab dalam keadaan tertentu ada kemungkinan bahwa adanya individu serangga atau binatang dapat berguna bagi manusia.
b. Dalam melaksanakan suatu pengendalian tidak mengenal satu cara pengendalian tertentu, seperti penggunaan pestisida saja tetapi semua teknik pengendalian dikombinasikan secara terpadu dalam suatu kesatuan pengelolaan.
c. Dalam mencapai sasaran utama PHT yaitu mempertahankan populasi hama di bawah kerusakan ekonomi, dengan produktivitas yang tinggi, maka perlu dipertimbangkan beberapa kendala yaitu :
   Kendala sosial ekonomi yang berarti bahwa pelaksanaan PHT harus dapat didukung oleh kelayakan sosial ekonomi masyarakat setempat.
   Kendala ekologi yang berarti bahwa dalam penerapan PHT secara ekologi dapat dipertanggung jawabkan dan tidak menimbulkan kegoncangan maupun kerusakan lingkungan
2.2.2   Prinsip dan Strategi Penerapan PHT
 PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Tiga komponen komponen dasar yang harus dibina, yaitu : Petani, Komoditi dasil pertanian dan wilayah pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah ( Kusnadi, 1999).
PHT memiliki beberapa prinsip yang khas, yaitu; (1) sasaran PHT bukan eradikasi/pemusnahan hama tetapi pembatasan atau pengendalian populasi hama sehingga tidak merugikan, (2) PHT merupakan pendekatan holostik maka penerapannya harus mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu dan sektor pembangunan sehingga diperoleh rekomendasi yang optimal, (3) PHT selalu mempertimbangkan dinamika ekosistem dan variasi keadaan sosial masyarakat maka rekomendasi PHT untuk pengendalian hama tertentu juga akan sangat bervariasi dan lentur, (4) PHT lebih mendahulukan proses pengendalian yang berjalan secara alami (non-pestisida), yaitu teknik bercocok tanam dan pemanfaatan musuh alami  seperti parasit, predator, dan patogen hama. Penggunaan pestisida harus dilakukan secara bijaksana dan hanya dilakukan apabila pengendalian lainnya masih tidak mampu menurunkan populasi hama, dan (5) program  pemantauan/pengamatan biologis dan lingkugan sangat mutlak dalam PHT karena melalui pemantauan petani dapat mengetahui keadaan agro-ekosistem kebun pada suatu saat dan tempat tertentu, selanjutnya melalui analisis agro-ekosistem (AAES) dapat diputuskan tindakan yang tepat dalam mengelola kebunnya. Dengan bekal materi pelatihan, petani belajar melaksanakan pengambilan keputusan dalam pengelolaan kebun, terutama pengendalian hama penyakit tanaman (Kusnadi, 1999).
Ada 4 prinsip manejemen yang mendasari PHT yang bersifat luwes, dapat dimana saja disesuaikan dengan daerah dan lahan setempat. Keempat prinsip tersebut adalah ( Kusnadi, 1999):
1.   Budidaya Tanaman Sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama.
a.   Pemilihan bibit yang sehat dan varitas tahan hama, yang cocok dengan kondisi setempat.
b.  Pengairan cukup dan pemupukan yang berimbang.
c.   Penyiangan gulma secara teratur.
2.   Melestarikan Musuh Alami
Musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen serangga) merupakan faktor penting  pengendali hama yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapangan.
a.   Temukan, kenali dan amati musuh-musuh alami (tanaman inang) di lahan sawah.
b.   Peliharalah keseimbangan lingkungan lahan sawah agar populasi musuh alami dapat berkembang.  Jangan gunakan pestisida yang membunuh musuh alami.
3.   Pengamatan Mingguan
Pengamatan atau pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan yang diperlukan.
4.   Petani Menjadi Ahli PHT
Petani bertanggung jawab terhadap lahan dan manejemen sendiri. Petani sebagai pengambil keputusan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan konsep PHT
2.2.3    Tujuan dan Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah (Abidin, 2004):
a)    Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b)    Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani
c)    Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebar luaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Abidin, 2004):
a)  Mengembangkan sumber daya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian dan Instansi terkait lainya.
b)  Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija lainya.
c)  Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan lingkungan.
d)  Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.
2.2.4    Taktik Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efesiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan. PHT merupakan perpaduan beberapa teknik pengendalian hama yang dalam penerapannya harus memperhitungkan dampaknya baik secara ekologi, ekonomi maupun sosiologi sehingga secara keseluruhan diperoleh hasil yang terbaik (Hidayat, 2001).
Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan antara lain :
A.   Pengendalian Mekanik
Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual. Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibatkan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah-daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat-ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan.
B.   Pengendalian Fisik
Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup.Bahan-bahan simpanan sering diperlakukan dengan pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan nitrogen.
Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara-cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.
 C.  Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh-musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen-agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
D.  Pengendalian Secara Kultur Teknik (Cultural Control)
Pada prinsipnya yang termasuk dalam pengendalian secara kultur teknik adalah cara-cara pengendalian dengan memanfaatkan lingkungan untuk menekan perkembangan populasi hama. Termasuk dalam cara ini adalah :
1.            Pengolahan Tanah
            Pengolahan tanah setelah panen menyebabkan larva-larva hama yang hidup di dalam tanah akan mati terkena alat-alat pengolahan. Di samping itu akibat lain dari pengolahan tanah ini akan menaikkan larva dan telur dari dalam tanah ke permukaan tanah. Dengan demikian larva-larva yang terdapat permukaan tanah akan memberikan kesempatan pada burung untuk memangsanya. Sedangkan telur-telurnya yang terdapat pada permukaan tanah terkean sinar matahari secara langsung sehinga keadaan T dan  H berbeda dengan keadaan semula dan mengakibatkan telur tidak menetas.
2.            Sanitasi
            Dengan membersihkan tempat-tempat yang kemungkinan dignakan oleh serangga untuk berbiak, berlindung, menyembunyikan diri atau berdiapause, maka perkembangan serangga hama dapat dicegah, walang sangit akan lebih cepat berbiak bila sanitasi lingkungannya kurang baik.
3.            Pemupukan .
Penggunaan pupuk, menjadikan tanaman sehat dan lebih  mudah mentolrir serangga hama. Pemupukan pada tanaman padi mengakibatkan tanaman lebih cepat membentuk anakan sehingga adanya serangga hama sundep dapat ditolerir oleh tumbuhnya anakan.
Contoh, Uret pada ketela pohon menyerang akar, dengan pemupukan akar akan segera terbentuk kembali.Agromiza sp menyerang batang kedelai, dengan pemupukan yangh baik maka akan mempercepat pertumbuhasn tunas-tunas cabang.
4.            Irigasi
Pengelolaan air dapat menghambat perkembangan hama tertentu. Akan tetapi bila cara pengelolaan air kurang tepat dapat menyebabkan meningkatnya perkembangan populasi hama. Penggenangan pada sawah-sawah setelah panen selama kurang lebih 5 hari merupakan cara yang baik untuk memberentas larva maupun pupa penggerek batang padi. Penggenangan pada areal bekas pertanaman ketela pohon dapat membunuh uret.
5.            Strip Farming
Yaitu bercocok tanam menurut jalur-alur memanjang. Bercocok tanaman monokultur akanmemudahkan tanaman terserang hama. Serangan dari hama-hama tertentu dapat diatasi dengan cara : Catch crop” yaitu bercocok tanam secara berselang seling antara tanaman yang berumur panjang dengan tanaman yang berumur pendek. Cara pengendalian  seperti ini sering dilakukan bersama cara pengendalian yang lain. Sebagai contoh yaitu pemberantasan walang sangit.
6.            Rotasi Tanaman
Menanam tanaman yanmg berbeda-beda jenisnya dalam satu tahun dapat memutus /meotong siklus atau daun hidup hama terutama hama-hama yang sifatnya monofagus. Contoh : Hama Sundep. Hama ini menyukaitanaman padi, maka dengan menanam tanaman palawija, setelah padi maka serangan hama ini akan berkurang.
7.            Pengaturan waktu tanam.
Penggeseran waktu tanam dapat mengurangi serangan hama-hama tertentu..Sebagai contoh hama sundep. Hama sundep pada musim kemarau berdaiapause dalam tanah kemudian menjadi kupu dan bertelur. Kupu bertelur setelah penerbangan pertama dan biasanya meletakkan telurnya pada tanaman pembibitan yang berumur dua minggu. Penggeseran waktu tanam menyebabkan kupu tidak dapat bertelur pada waktunya (pada saat akan bertelur tidak terdapat tanaman yang berumur dua minggu). 
E. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Hama
Menurut Painter yang dimaksud dengan tanaman tahan hama adalah  tanaman yang mempunyai turunan yang kualtas atau sifatnya menyebabkan tanaman mampu menyembuhkan diri terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama.
Keuntungan penggunaan varitas /tanaman tahan antara lain :
  1. Sangat mudah dilakukan dengan biaya yang minimal
  2. Tekniknya sederhana sehingga mudah dilakukan oleh petani
  3. Persisten (sifat pengendaliannya tetap dalam jangka waktu yang lama)
  4. Sifatnya spesifik (mengarah pada satu macam hama)
  5. Komulatif, yaitu pengaruh sekarang dan berikutnya akan menurunkan populasi hama
  6. Serasi terhadap lingkngan, artinya tidak menghasilkan residu terhadap lingkungan.
  7. Compatibel dengan cara pengendalian lainnya
Kelemahannya :
  1. Memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk pengembangannya
  2. Timbulnya biotipe yaitu strain baru yang biasa menyesuaikan diri pada tanaman  yang tadinya tidak disukai.
  3. Keterbatasan dari sumber genetiknya
  4. Sifat-sifat ketahanannya yang bertentangan, artinya tanaman unggul terhadap hama tertentu tetapi peka terhadap hama lainnya.
     Sifat-sifat ketahanan datangnya dari sifat morfologi, biokmia, biofisik atau perilau dari hama. Untuk memperoleh tanaman tahan hama bukan merupakan suatu hal yang mudah dan cepat, dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai morfologi, fisiologi, genetika tanaman, perilaku serangga dan pengetahuan lainnya. Oleh karena banyak faktor probabiltas yang berpengaruh terhadap program pemuliaan, maka untuk mendapatkan varitas baru yang dijamin kelanggengan sifatnya, diperlukan waktu yang cukup lama  6-10 tahun..
Langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam PHT adalah :
1)    Mengidentifikasi dan analisa status hama yang harus dikelola apakah termasuk utama, hama kedua, hama potensial, hama migran dan yang bukan hama.
2)    Mempelajari saling tindak komponen dalam ekosistem yang berpengaruh terhadap hama utama, termasuk inventarisasi beberapa musuh alami.
3)    Penetapan dan pengembangan ambang ekonomi merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan kapan harus menggunakan pestisida.
4)    Pengembangan sistem pengamatan dan monitoring hama untuk mengetahui letak dan keadaan suatu jenis hama pada suatu waktu dan tempat terhadap ambang ekonomi hama tersebut.
5)    Pengembangan model diskriptif dan peramalan hama menggunakan taktik ganda pengendalian dalam suatu kesatuan sistem yang terkoordinasi serta mengusahakan agar populasi atau kerusakan tetap berada di bawah aras toleransi manusia.
6)    Penyuluhan pada petani agar menerima dan menerapkan PHT agar mempunyai kemampuan untuk dapat mengamati dan mengambil keputusan pengendalian.
7)    Pengembangan organsasi PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efesien dan efektif yang dapat bekerja secara tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada ekosistem.
2.2.5  Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hama Terpadu
a)    Kelebihan
PHT mendukung praktek pertanian yang baik, peningkatan efisiensi terutama diperoleh dari penekanan input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida. Berkurangnya penggunaan pestisida dan meningkatnya pemakaian bahan organik diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan dan menekan pencemaranlingkungan, sehingga produk lebih aman dan kelangsungan proses produksi menjadi lebih terjamin (Kartasapoetra, 1991).
b)    Kekurangan
Bebarapa kekurangan penerapan pengendalian hama terpadu antara lain (Kartasapoetra, 1991):
1)    Proses difusi teknologi PHT masih berjalan lambat atau bahkan stagnasi. Disisi lain, perubahan pengetahuan dan sikap petani dalam pengendalian hama penyakit sesuai paket teknologi PHT juga masih rendah.
2) Rendahnya penyebaran teknologi antara lain dengan terbatasnya pembinaan terutama pasca SLPHT. Kurangnya melibatkan aparat penyuluh pertanian, menyebabkan ketergantungan terhadap para pemandu SLPHT sangat tinggi.
3)    Sikap dan persepsi yang kuat terhadap penggunaan pestisida kimiawi sebagai cara praktis dan ampuh dalam pengendalian hama penyakit. Kenyataan ini mempersulit mengubah persepsi kearah penggunaan pestisida secara bijaksana dan dalam pemasyarakatan penggunaan pestisida nabati.
4) Pengambilan keputusan terkait pengendalian hama penyakit atau keputusan dalam hal budidaya cenderung bersifat individual, dan belum dilakukan secara kelompok terutama pasca pelatihan. Kelompok tani belum berfungsi dalam pengambilan keputusan pengendalian hama penyakit atau kegiatan budidaya lainnya.
5)   Masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam membina petani dan melanjutkan program SLPHT dengan sumberdaya dari daerah. Mengingat kegiatan SLPHT dari pemerintah pusat sudah selesai.
6)  Masih terbatasnya dukungan berbagai kelembagaan seperti pemasaran hasil, dan permodalan dalam membantu petani untuk ebih meningkatkan kinerja usahataninya
2.2.6 Studi kasus Penerapan Pengendalian Hama Terpadu
1.    Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada Perkebunan Jambu Mete
Jambu mete (Anacardium moccidentale) merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor.  Tahun 2000, ekspor nasional jambu mete mencapai 27.617 ton atau sama dengan 31.502 US$ denganlaju pertumbuhan ekspor selama sepuluh tahun terakhir (tahun 1990-2000) mencapai 47,8persen per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan Rakyat, 2002). Dalam memasuki era perdagangan bebas, Indonesia sebagai negara produsen jambu mete, harus melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan daya saingproduk. Upaya perbaikan disamping aspek  efisiensi produksi dan kualitas produk, juga diproduksi secara ramah lingkungan. N. Hakim. (2003) menginformasikan, bahwa sebagian dari konsumen kopi yang sekaligus pemerhati lingkungan akhir-akhir ini menganggap bahwa beberapa negara produsen sudah tidak lagi memperhatikan tatanan lingkungan, hanya mengeksploitasi lahan untuk tujuan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya sehingga menyebabkan erosi dan  banjir di musim hujan, hilangnya populasi satwa (burung, serangga, dan lainnya), serta rusaknya ekosistem mikro. 
Melihat permasalahan tersebut, pemerintah cq Departemen Pertanian sejak tahun 1997 mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang ramah lingkungan kepada petani perkebunan rakyat melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Pelaksanaan SL-PHT mencakup enam komoditi utama yaitu kopi, kakao, jambu mete, teh, kapas, serta lada, masing-masing dilaksanakan di satu Propinsi sentra produksi.  Pelatihan SL-PHT  jambu mete dilaksanakan di Propinsi NTB tahun 2001, sampai tahun 2002 sudah dihasilkan 800 petani SL-PHT tersebar di Lombok Barat (65,6%), Lombok Timur (18,8%), dan Sumbawa (15,6%) .
 Pada dasarnya materi pelatihan SL-PHT mencakup empat prinsip  yang dikembangkan, yaitu (a) petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat, (b)memahami dan memanfaatan musuh alami, (c) melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala, dan (d) petani mampu menjadi manager usahatani (Untung, 1997). Petani sebagai manager berarti  petani  harus tahu dan mampu memutuskan penerapan tiga prinsip SL-PHT sebelumnya dalam mengelola kebunnya yaitu, mengusahakan budidaya tanaman sehat, memahami dan  memanfaatan musuh alami, dan melakukan pengamatan agro-ekosistem kebun secara berkala.
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.    Pengendalian hayati dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan hama yang terjadi dengan memanfaatkan makhluk hidup secara alami yang ada di alam.
2.    PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplin
dengan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
3.     Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani, peneliti, pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Pendekatan pertanian berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi pengendalian hayati, kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara bijaksana, merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan menekan risiko kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2004. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Pada Tanaman Tembakau. BPTD. Medan.
Hidayat, A. 2001. Metode Pengendalian Hama. Tim Program Keahlian Budidaya Tanaman. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Menengah  Kejuruan. Jakarta
Kartasapoetra, 1991. Hama Hasil Tanaman Dalam Gudang. Rineka Cipta. Jakarta.
Kusnaedi, 1999. Pengendalian Hama tanpa Pestisida. Jakarta. Penebar Swadaya.
Sulistiani, Rini. 2008. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Teknik Pengendalian Hama Terpadu. USU press. Medan


Previous
Next Post »